Membicarakan tentang keikhlasan sama halnya membicaakan tentang ketulusan. Dalam kehidupan sehari-hari rasa ikhlas dan juga tulus mutlak diperlukan. Dengan rasa ikhlas dan tulus maka kita akan mampu memberikan yang terbaik milik kita untuk hal tersebut. Misalnya perasaan ikhlas mencitai seseorang, maka pada praktiknya kita akan mau meberikan segala yang kita miliki untuk orang tersebut. Baik harta, kemampuan, raga, pikiran, perasaan bahkan jiwa pun akan rela kita korbankan demi dirinya. Dan ketika kita memberikan segala yang kita miliki untuknya, tidak pernah sedikitpun terlindat dipikiran kita untuk mendapatkan balasannya Tidak terkecuali dalam suatu pekerjaan. Belajar keikhlasan dalam bekerja mutlak dibutuhkan oleh semua manusia.
Hanya dengan rasa ikhlas dan tulus menjalankan suatu pekerjaan maka kita akan mampu mengeluarkan degenap kemampuan kita untuk pekerjaan tersebut. Dan tentu saja, hasil tidak akan pernah mengkhianati proses pencapaiannya. Namun untuk memiliki rasa ikhlas dan tulus dalam menjalankan suatu pekerjaan tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Untuk itu perlu kita pelajari tentang bagaimana mendapatkan rasa ikhlas dan tulus dalam menjalankan suatu pekerjaan. Disini kita tidak akan belajar dari kisah hebat para tokoh dunia. Sebaliknya, kita akan mencoba mempelajari keikhlasan dari benda yang dapat dengan mudah kita temukan di dapur rumah kita. Yakni kopi dan gula.
Kopi dan gula adalah 2 komponen utama dalam menciptakan paduan nikmat di secangkir kopi. Anda tentu pernah membuat secangkir kopi panas bukan? Ini adalah kisah gula dan kopi ketika akan dipadukan menjadi secangkir minuman kopi.
Suatu ketika di pagi hari yang cerah, ada seseorang yang baru bangun tidur langsung berjalan menuju dapur rumanya. Diambilnya sebuah cangkir keramik berwarna putih di hadapannya. Ia masukkan 2 sendok makan kopi bubuk hitam ke dalam cangkir tersebut. Tidak lupa ia meraih satu toples yang berisikan gula pasir dengan butiran-butirannya yang menyerupai kristal berwarna bening. Ia masukkan 2 sendok teh gula ke dalam cangkir keramik tersebut. Terakhir ia masukkan air panas ke dalam cangkir yang melarutkan bubuk kopi dan juga gula pasir menjadi satu.
Terlihat asap mengepul memancarkan aroma nikmat kopi hitam yang wangi sekali. perlahan-lahan ia aduk kopi hitam pekat tersebut. Dengan sendok makan ia ambil sedikit air kopi tersebut untuk mencicipi rasanya. Ia tiup sebentar untuk mendinginkan suhu air kopi agar sesuai dengan lidahnya. Namun ketika ia cicipi, ternyata rasa kopi tersebut terlalu pahit. Dengan serta merta ia mengatakan, “Gulanya kurang ini, jadi pahit”. Ia menyalahkan gula pasir yang ia masukkan karena terlau sedikit jumlahnya. Ia tambahkan 2 sendok teh lagi gula pasir ke dalam cangkir tersebut.
Ia aduk-aduk kembali air kopi yang kini terdapat 4 sendok teh gula pasir larut di dalamnya. Ia cicipi sekali lagi air kopi yang ada di hadapannya itu. “Duh, sekarang kemanisan, gulanya terlalu banyak ini” namun ia kembali kecewa dengan rasa kopi buatannya tersebut. Dan lagi-lagi ia menyalahkan gula dengan komposisinya yang terlalu banyak. Ia kemudian menambahkan air panas ke dalam cangkirnya untuk membuat rasa manis di kopi tersebut sedikit memudar.
Ia aduk-aduk lagi secangkir kopi tersebut, dan ia cicipi. Dengan nada puas ia memuji, “Nah, ini dia. Kopinya mantap”. Bukannya gula yang ia puji melainkan kopi yang sedari tadi tidak ia utak atik komposisinya. Gula yang sudah 2 kali dhardik oleh orang tersebut bukannya protes malah mengatakan kepada kopi bahwa ia turut senang dengan rasa minuman kopi yang mantap, begitu pula kopi, dengan rendah hatinya ia mengatakan bahwa ia bisa dipuji juga karena andil sang gula.
Gula dan kopi ini ibarat karyawan dan juga atasan. Terkadang perkembangan dan kemajuan suatu perusahaan yang merupakan buah dari kerja keras karyawannya, yang mendapatkan pujian adalah pimpinan perusahaan tersebut bukan karyawannya. Namun hal itu bukanlah menjadi suatu alasan bagi seorang karyawan untuk berhenti berkarya bagi perusahaannya. Karena bagi setiap karyawan yang memiliki dedikasi tinggi serta pengabdian yang besar untuk perusahaannya, ia akan merasa puas dan bangga apabila karyanya mampu menunjang kemajuan dan perkembangan perusahaan tempat ia bernaung. Ia ibarat pondasi dalam sebuah rumah, meski tidak terlihat, namun kokoh tidak nya bangunan rumah tersebut bergantung besar pada kondisi pondasinya.
Hanya dengan rasa dedikasi yang tinggi terhadap perusahaan, seorang karyawan akan mampu mengeluarkan segenap kemampuan, perasaan dan pikirannya semata-mata untuk perusahaannya.
Begitu juga dengan pimpinan perusahaan, bahwa ia harus menyadari dan mengakui bahwa perusahaan yang ia pimpin dapat meraih kemajuan dan perkembangan yang pesat bukan hanya semata-mata karena kemampuan kepemimpinannya sendiri, melainkan buah dari kerja keras para karyawannya yang memiliki dedikasi tinggi demi kemajuan perusahaanya. Sudah sepatutnya apabila pimpinan perusahaan memberikan apresiasi kepada para karyawannya. Apresiasi tersebut tidak harus berupa material, uang, dan lain sebagainya. bisa saja apresiasi tersebut berbentuk sederhana seperti pujian dan pengakuan akan kinerja karyawannya yang optimal. Hanya dengan demikianlah suasakan kerja dalam perusahaan tersebut dapat tercipta secara kondusif dan juga produktif.